Polisi Pamong Praja (Satpol PP) modern di Indonesia, yang secara formal didirikan pasca-kemerdekaan, memiliki akar sejarah yang kuat pada era kolonial Belanda. Meskipun Kesatuan Polisi Pamong Praja baru dibentuk secara definitif pada 3 Maret 1950 di Yogyakarta, dengan moto Praja Wibawa, fungsi-fungsi yang diemban oleh Satpol PP telah dilaksanakan oleh entitas pemerintahan sejak zaman kolonial. Keberadaan ini menunjukkan adanya kesinambungan fungsional dalam pemeliharaan ketertiban sipil, meskipun terjadi diskontinuitas dalam struktur dan penamaan formalnya. Lanskap keamanan kolonial juga mencakup institusi lain seperti Brandweer (pemadam kebakaran) sejak 1873 dan Lught Buscherming Dients (LBD) pada 1939, yang menjadi embrio pertahanan sipil, mengindikasikan respons multifaset terhadap kebutuhan keamanan dan bencana pada masa itu.
Cikal bakal Polisi Pamong Praja di era kolonial dikenal sebagai Bestuurs Politie (Polisi Pamong Praja atau Polisi Administratif). Asal-usulnya dapat ditelusuri hingga era VOC di Batavia di bawah Gubernur Jenderal Pieter Both, dengan pembentukan Bailluw, sebuah figur yang menggabungkan peran polisi, jaksa, dan hakim untuk menjaga ketertiban. Di bawah kepemimpinan Raffles, sistem Bailluw berkembang menjadi Bestuurs Politie yang bertugas membantu pemerintah di tingkat Kawedanan dalam menjaga ketertiban dan ketenteraman warga. Perkembangan ini mencerminkan evolusi mekanisme kontrol kolonial, dari figur multifungsi yang terpusat menjadi lebih terintegrasi dalam hierarki administrasi lokal, mengandalkan struktur pemerintahan pribumi.
Bestuurs Politie berbeda dari jenis kepolisian kolonial lainnya seperti Veld Politie (Polisi Lapangan), Stands Politie (Polisi Kota), Cultur Politie (Polisi Pertanian), dan Algemeene Politie (Polisi Umum). Unit ini beroperasi di bawah pangreh praja (administrasi pribumi), yang merupakan bagian dari Departement van Binnenlandsch Bestuur (Departemen Dalam Negeri) yang didirikan pada tahun 1866. Penempatannya dalam fungsi Bestuur (administrasi) menunjukkan sifatnya yang lebih administratif daripada penegakan hukum profesional. Polisi Pangreh Praja tidak menerima pendidikan khusus kepolisian dan tidak terikat oleh peraturan kepolisian formal, melainkan di bawah pimpinan pejabat administratif lokal seperti Camat, Wedana, dan Bupati. Ini menyoroti kelemahan struktural dan keterbatasan operasional mereka sebagai kekuatan kepolisian.
Peran utama Bestuurs Politie adalah memelihara ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta membantu pemerintah daerah. Tanggung jawab pemeliharaan keamanan masyarakat pribumi secara khusus berada di tangan pangreh praja, sementara administrasi Eropa menangani keamanan bagi warga Eropa. Sistem ganda ini mencerminkan hierarki rasial yang dalam dan kurangnya kepercayaan penuh terhadap personel pribumi oleh administrasi kolonial. Fungsi Bestuurs Politie juga terkait erat dengan tujuan ekonomi kolonial, seperti menjaga ketertiban terkait Cultuurstelsel (sistem tanam paksa) dan melindungi aset-aset ekonomi. Ini menunjukkan bahwa kinerja mereka diukur dari efektivitas dalam mempertahankan sistem eksploitatif dan menekan gangguan yang mengancam kepentingan kolonial. Pribumi umumnya tidak diizinkan menduduki pangkat polisi yang lebih tinggi, hanya peran administratif seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi.
Pada masa pendudukan Jepang, organisasi Polisi Pamong Praja mengalami perubahan besar, dengan peran dan fungsinya bercampur baur dengan kemiliteran, menyebabkan ketidakjelasan struktural. Ketiadaan pelatihan khusus dan keterikatan pada administrasi lokal, bukan kepolisian profesional, menjadi kritik signifikan terhadap Bestuurs Politie. Praktik penegakan ketertiban yang represif dan instrumentalistik pada masa kolonial, yang seringkali menargetkan masyarakat pribumi dan gerakan anti-kolonial, dapat dikatakan meninggalkan jejak dalam “watak kolonial” yang masih disoroti dalam penegakan ketertiban umum di Indonesia saat ini.
Secara keseluruhan, pembentukan dan kinerja Polisi Pamong Praja pada era kolonial, melalui Bestuurs Politie, merupakan cerminan dari kebutuhan pemerintah kolonial untuk menjaga ketertiban dan mengendalikan masyarakat pribumi demi kepentingan ekonomi dan politik. Meskipun terdapat perubahan signifikan pasca-kemerdekaan, kebutuhan akan badan administratif lokal yang bertanggung jawab atas ketertiban umum tetap ada, menunjukkan kesinambungan fungsional yang berakar pada sejarah panjang tersebut.
Author: Muhammad Fadhil Pratomo, S.H.